Bogor – Sengketa kepemilikan empat pulau kecil di ujung barat Indonesia—Pulau Panjang, Pulau Lipan, Pulau Mangkir Gadang, dan Pulau Mangkir Ketek—antara Provinsi Aceh dan Sumatera Utara bukan sekadar masalah administratif. Muhammad Risky Munandar selaku Ketua HMI Cabang Bogor Bidang PTKP menegaskan, persoalan ini melibatkan identitas budaya, sejarah panjang, serta hak masyarakat adat yang selama puluhan tahun telah hidup dan mengelola pulau-pulau tersebut.
Keputusan Menteri Dalam Negeri Nomor 300.2.2-2L38 Tahun 2025 yang menetapkan keempat pulau secara administratif masuk Sumatera Utara mendapat penolakan keras dari Pemerintah Aceh dan masyarakat adat. Menurut Kabid PTKP HMI Cabang bogor, masyarakat Aceh telah membangun sarana ekonomi dan keagamaan seperti dermaga, rumah singgah, dan mushola, serta menjalankan adat termasuk larangan melaut setiap hari Jumat, yang menunjukkan akar budaya kuat di wilayah itu.
Ironisnya, klaim administratif oleh pemerintah pusat tidak diikuti dengan pelayanan publik atau kehadiran negara dari Pemerintah Kabupaten Tapanuli Tengah. M Risky Munandar menilai hal ini sebagai bukti bahwa keputusan tersebut tidak didasarkan pada realitas sosial dan justru bisa memperparah ketegangan serta menciptakan konflik baru di lapangan.
Dalam hal ini, Munandar mengingatkan pentingnya merujuk pada dokumen hukum dan sejarah seperti Surat Kepala Inspeksi Agraria Aceh tahun 1965 yang menjadi bukti kuat kepemilikan masyarakat Aceh atas pulau-pulau tersebut. Ia menyayangkan pendekatan teknokratis pemerintah pusat yang mengabaikan aspek historis dan sosial budaya, sehingga menimbulkan ketidakadilan struktural.
“Jika negara terus mengabaikan aspek historis dan sosial dalam penyelesaian sengketa ini, maka bukan hanya konflik administratif yang kita hadapi, tapi juga erosi kepercayaan rakyat terhadap negara yang bisa memicu disintegrasi,” ujar Munandar.
Oleh karena itu, HMI mendesak pemerintah untuk melakukan audit ulang dokumen historis, membuka ruang dialog yang adil dan partisipatif, serta mengedepankan keadilan restoratif. Menurut Munandar, keadilan yang tidak dirasakan di satu wilayah akan menggerus persatuan dan keutuhan bangsa secara keseluruhan.(sry)