JAKARTA – Pemerintah diminta segera melakukan peremajaan sejumlah pabrik pupuk, untuk menekan biaya dalam produksi pupuk bersubsidi di Indonesia.
Hal ini disampaikan peneliti Lembaga Kajian Geopolitik dan Bisnis (LKGB), Ferdiansyah, mengomentari temuan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) terkait adanya inefisiensi belanja pupuk bersubsidi oleh pemerintah senilai Rp 2,92 triliun periode 2020-2022.
Menurut pandangan Ferdiansyah, hal ini merupakan imbas dari tingginya biaya produksi, karena pemerintah menerapkan kebijakan pupuk subsidi berbasiskan HPP plus margin, sejak 2003.
Ini artinya, harga jual pupuk bersubsidi ditetapkan berdasarkan Harga Pokok Produksi (HPP) ditambah dengan margin tertentu.
“Dengan kebijakan ini, pemerintah menentukan harga pupuk subsidi dengan mempertimbangkan biaya produksi yang ditanggung oleh produsen serta memberikan margin agar produsen tetap dapat beroperasi dengan baik,” ujar Ferdiansyah dalam keterangan resminya, Minggu (8/6/2025).

Namun, lanjut Ferdiansyah, melalui skema tersebut, Internal rate of Return (IRR) investasi pabrik pupuk di Indonesia kurang dari lima persen, sehingga tidak dimungkinkan untuk melakukan investasi pembangunan pabrik secara komersial.
Dengan kata lain, skema yang diterapkan membuat proyek pembangunan pabrik pupuk kurang menguntungkan bagi investor, sehingga sulit untuk dilakukan tanpa subsidi atau dukungan pemerintah.
“Dengan IRR yang rendah, investor atau perusahaan tidak akan tertarik untuk mendanai pembangunan pabrik karena keuntungannya tidak cukup besar dibandingkan dengan risiko dan biaya yang harus dikeluarkan,” ungkap Ferdiansyah.
Menurutnya, inilah yang membuat peremajaan pabrik pupuk di Indonesia menjadi tersendat dan berujung pada meningkatnya biaya produksi.
Upaya pemerintah untuk merespons hal ini juga dinilai lamban, sebab sejak 2003, hanya ada satu proyek peremajaan pabrik pupuk.
Ferdiansyah lalu mengungkapkan, saat ini 24 dari 30 pabrik pupuk yang berbasis nitrogen (N-based), telah beroperasi lebih dari dua dekade.
“Pabrik yang sudah tua cenderung memiliki efisiensi produksi yang lebih rendah dan konsumsi energi yang lebih tinggi. Terlebih, kapasitas produksi urea dari pabrik-pabrik yang sudah berumur tua tersebut mencakup 72 persen dari total kapasitas produksi urea nasional,” paparnya.
Ferdiansyah melanjutkan, jika menggunakan standar dunia, kini di Indonesia hanya ada dua pabrik pupuk yang masuk kategori efisien.
Hal inilah yang membuat peremajaan pabrik pupuk di Tanah Air menjadi mendesak. Dan untuk melakukan hal itu, menurut Ferdiansyah, skema subsidi pupuk harus diubah.
Ia berkaca pada skema subsidi bahan bakar minyak (BBM), yang menggunakan angka keekonomian dan harga pasar (MOPS). Menurut Ferdiansyah, skema yang sama juga bisa digunakan sebagai dasar untuk menentukan nilai atau harga pupuk.
“Kini saatnya untuk mengevaluasi kebijakan yang sudah diterapkan selama lebih dari 20 tahun. Ini perlu dilakukan agar pabrik pabrik tua bisa segera diremajakan, dan efisiensi bisa ditingkatkan,” pungkas Ferdiansyah.