Nasionalisme & Wawasan Kebangsaan: Masyarakat Adat di Ujung Senja
Jasinga 9 September 2025, Di tengah gegap gempita modernisasi, masyarakat adat di Indonesia kerap hanya dijadikan slogan tanpa makna. Mereka disebut “penjaga tradisi” “warisan leluhur” bahkan “identitas bangsa.”
Namun di balik kata-kata manis itu, realitas yang mereka hadapi justru kerap penuh luka: tidak sedikit tanah-tanah mereka dirampas atas nama pembangunan, kearifan lokal dipinggirkan oleh regulasi, dan suara mereka dibungkam oleh kekuasaan.
Nasionalisme sejati seharusnya bukan sekadar mengibarkan bendera setiap 17 Agustus. Nasionalisme adalah memastikan bahwa masyarakat adat, yang sejak awal menjadi fondasi keberagaman negeri ini, tidak dibiarkan tenggelam di ujung senja.
Ironisnya, mereka yang dahulu membuka jalan bagi lahirnya republik, kini justru terancam menjadi “tamu”di tanahnya sendiri.
Wawasan kebangsaan hari ini sering kali dipersempit menjadi sekadar loyalitas terhadap negara, padahal esensinya adalah menjaga seluruh anak bangsa tanpa kecuali.
Jika masyarakat adat terus dipinggirkan, maka wawasan kebangsaan itu rapuh, hanya jargon kosong yang melayani segelintir elit.
Kita perlu berani bertanya: apakah bangsa ini benar-benar merdeka jika ratusan komunitas adat masih berjuang untuk sekadar diakui?
Apakah nasionalisme hanya milik mereka yang berjas, berdasi, dan duduk di kursi parlemen, sementara para penjaga hutan, tanah, dan air dianggap penghalang kemajuan?
Masyarakat adat bukan masa lalu. Mereka adalah denyut nadi bangsa yang sesungguhnya. Mengabaikan mereka sama saja menyalakan api perlahan yang akan menghanguskan akar kebangsaan itu sendiri.
Indonesia tidak akan pernah kuat jika membiarkan sebagian anak bangsa redup di ujung senja.
Nasionalisme dan wawasan kebangsaan harus kembali ke ruh sejatinya! Melindungi, menghargai, dan memberi ruang hidup yang adil bagi masyarakat adat sebelum yang tersisa hanya cerita dan prasasti.***