Krisis Komunikasi Publik Pejabat Negara dan Dampaknya terhadap Ketatanegaraan

IMG 20250609 WA0021
2 0
banner 468x60
Read Time:2 Minute, 1 Second

Nama : Rizki Permana Putra

 

Salah satu fondasi penting dalam sistem ketatanegaraan adalah komunikasi yang transparan, akuntabel, dan akurat dari pejabat publik kepada masyarakat. Namun dalam praktiknya, masih banyak pejabat negara yang justru menimbulkan kegaduhan melalui pernyataan-pernyataan yang kontroversial, tidak tepat, atau bahkan cenderung merendahkan akal sehat publik. Fenomena ini menunjukkan adanya krisis komunikasi publik yang berdampak serius terhadap legitimasi kebijakan negara dan kepercayaan rakyat terhadap institusi pemerintahan.

Beberapa kasus belakangan ini menunjukkan betapa buruknya kualitas komunikasi pejabat. Misalnya, penggunaan kop surat resmi Kementerian Desa oleh Menteri Yandri Susanto untuk mengundang acara haul ibunya menuai kritik karena mencampuradukkan kepentingan pribadi dengan institusi negara. Meskipun kemudian disusul permintaan maaf, tindakan tersebut mencederai prinsip netralitas birokrasi.

Kepala BPIP Yudian Wahyudi juga pernah menyampaikan pernyataan yang menyebut agama sebagai “musuh terbesar Pancasila” dalam konteks politisasi. Meskipun maksudnya adalah kritik terhadap pihak-pihak yang memanipulasi agama, penyampaian yang tidak sensitif memicu reaksi keras dan dianggap merendahkan nilai keagamaan di tengah masyarakat yang religius. Dalam sistem ketatanegaraan yang plural, komunikasi seperti ini berisiko merusak semangat persatuan dan menciptakan polarisasi.

Contoh lain adalah pernyataan staf khusus kementerian yang menyebut kritik netizen terhadap draf RUU TNI sebagai “kena prank”, seolah-olah kegelisahan masyarakat adalah sesuatu yang bisa ditertawakan. Pernyataan seperti ini memperlihatkan ketidakpekaan terhadap aspirasi publik dan merendahkan peran masyarakat dalam proses demokrasi. Dalam konteks negara hukum, di mana rakyat memiliki hak konstitusional untuk mendapatkan informasi dan menyampaikan pendapat, komunikasi seperti ini justru bertentangan dengan semangat konstitusi.

Padahal, Pasal 28F UUD 1945 secara tegas menjamin hak masyarakat untuk memperoleh dan menyampaikan informasi. Hal ini diperkuat oleh UU No. 14 Tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik yang mengatur kewajiban pejabat publik untuk memberikan informasi yang akurat dan tidak menyesatkan. Komunikasi publik yang keliru tidak hanya menimbulkan salah paham, tetapi juga berpotensi memperlemah legitimasi pemerintah dan memperbesar ketidakpercayaan terhadap lembaga negara.

Baca Juga :  Perkuat Kolaborasi, Mendes Yandri Ingin GP Ansor Manfaatkan Jaringan Dukung Pembangunan Desa

Krisis komunikasi ini tidak bisa dianggap remeh. Ia merupakan bagian dari persoalan ketatanegaraan yang perlu dibenahi secara sistemik. Negara perlu membangun mekanisme komunikasi yang profesional, termasuk pelatihan komunikasi publik dan krisis bagi pejabat, penyusunan pedoman etika komunikasi, serta penguatan fungsi kehumasan lembaga negara agar mampu menyaring dan menyampaikan informasi dengan cara yang tepat.

Dalam sistem ketatanegaraan yang demokratis, pejabat publik adalah wajah negara. Setiap pernyataan mereka bukan hanya pendapat pribadi, tetapi mencerminkan sikap lembaga yang mereka wakili. Oleh karena itu, komunikasi publik harus dikelola dengan serius, karena satu kesalahan ucap dapat berdampak besar terhadap kestabilan sosial dan kepercayaan konstitusional masyarakat terhadap negara.

Happy
Happy
0 %
Sad
Sad
0 %
Excited
Excited
0 %
Sleepy
Sleepy
0 %
Angry
Angry
0 %
Surprise
Surprise
0 %
banner 300x250

Related posts

banner 468x60